Membesarkan Anak di Eropa: Seputar isu Keragaman & Inklusi

Waktu baru pindah ke Belanda, saya ragu untuk menetap lama disini. Saya senang tinggal di negeri yang indah, tertib, dan relatif aman. Tetapi apa saya mau membesarkan anak dengan nilai-nilai masyarakat sini?

Banyak nilai yang bertabrakan dengan keyakinan kita sebagai orang Indonesia. Misalnya: orang Belanda itu biasanya tinggal bersama dan punya anak dulu, baru menikah. 

Bagaimana kalau anak saya yang masih polos dicekoki kebiasaan ini? Bisakah saya menanamkan prinsip yang berbeda? Siapkah saya kalau dia tumbuh dengan berbagai budaya Belanda ini di kepalanya?

Sumber: Tumisu dari Pixabay

Seiring berjalannya waktu, saya mulai menerima kondisi ini. Beberapa peristiwa dan fenomena yang saya lihat belakangan ini seakan kasih pesan bahwa tantangan generasi mendatang memang beda dengan kita dulu. Bukan berarti saya mengadopsinya, tetapi bahwa saya tidak bisa menghindar dari perkembangan zaman ini.

Fenomena pertama yang saya lihat adalah di dunia pendidikan. Anak saya yang berusia 5 tahun sudah diajarkan guru sekolahnya bahwa pernikahan tidak hanya pria dan wanita, bisa juga pria dengan pria atau wanita dengan wanita. 

Tidak pernah terbayang sebelumnya di benak saya akan senyata ini pelajarannya. Anak TK sudah disuguhi konsep ini. 

Masih dalam dunia pendidikan. Di Belanda ini setiap tahun ada Children’s Book Week. Dan Duta Baca Buku Anak untuk tahun 2019-21 adalah Manon Sikkel. Dalam laman ini tertulis misinya adalah Diversity & Inclusivity. 

Termasuk di dalamnya menghilangkan stereotipe yang selama ini sudah ada. Misalnya: anak yang pakai kacamata bukan berarti paling pandai di kelas, pakai kutek tidak eksklusif anak perempuan saja, dan orang tua tidak melulu 1 ayah 1 ibu – bisa saja 2 ayah atau 3 ibu.

Sumber: Sasel13 dari Pixabay

Bukan hanya di sekolah, pulang ke rumah pun anak saya mau tidak mau berhadapan dengan hal yang buat saya aneh ini. Suatu hari, kami mengundang rekan kerja suami saya dengan pasangannya masing-masing untuk makan siang di rumah kami. Salah satu tamu adalah gay dan dia datang dengan pasangannya. Jadi dari 4 pasang orang dewasa di rumah kami, anak saya tentu menangkap bahwa syarat pasangan tidak hanya yang beda jenis kelamin. 

Malam hari, ketika kami santai nonton Netflix, Anda pun pasti bisa menebak bahwa kami disajikan tema yang serupa. Banyak sekali film di Netflix ada tokoh gay. 

Cerita punya cerita, ternyata syarat film mendapatkan Oscar di tahun ini memang demikian. Jalan ceritanya harus tentang kelompok yang kurang terwakili seperti perempuan, suku minoritas, LGBTQ+, dan disabilitas. Atau sebagian pekerja filmnya harus dari kelompok tersebut. 

Pantas saja film-film yang kami tonton di platform modern seperti Netflix rata-rata topiknya seperti itu. Dan ini juga menunjukkan kedepannya makin banyak film box office yang akan memuat kelompok yang kurang terwakili tersebut. Tentu ini tidak berarti sepenuhnya buruk.  

Selain lewat film, kita juga bisa belajar tentang budaya lewat museum. Sudah nonton Si Doel Anak Sekolahan The Movie? Kalau sudah, pasti Anda ingat Si Doel dan Sarah bertemu kembali di sebuah museum keren di Amsterdam. Ya, Tropen Museum. 

Pada liburan musim panas lalu kami kesitu. Memang keren, sekaligus bertanya-tanya. Museum itu jelas menyiratkan pesan toleransi karena keragaman di dunia ini. Di museum itu, dengan mudah saya ajarkan Martin ada banyak cara orang beribadah. Tidak hanya yang selama ini kita lakukan. 

Tetapi ada 1 bagian yang saya bingung dengan namanya: What a Genderful World! Apa itu genderful? Saya belum pernah mendengarnya. Ternyata bagian ini menarik sekali, baik barang yang dipamerkannya maupun substansinya. 

Untuk substansi: adalah salah kalau hanya ada 2 jenis kelamin! Apa jenis kelamin kita tidak ditentukan oleh anggota tubuh kita seperti apa. Dan juga bukan ditentukan oleh orang tua kita. Seperti kebiasaan memakaikan baju-baju pink ke anak yang dianggap perempuan, dan biru ke laki-laki. Itu tidak benar menurut Genderful World ini. 

Barang yang dipamerkan adalah karya seni modern yang menarik dilihat walau saya sering tidak mengerti artinya. Sama sekali bukan tipe museum tua yang koleksinya sudah usang. Kalau Anda pecinta seni dan pengamat budaya, silahkan lihat laman ini. Pasti memperluas wawasan Anda.

Dewa Legba dari agama Voodoo. Dewa ini digambarkan dengan alat kelaminnya yang menonjol

So, buat saya, kesimpulannya adalah semua ini gamblang di sekitar kita. Tidak bisa ditutupi dari anak-anak. Kami sebagai orang tua harus mengkomunikasikannya ke anak, juga dengan gamblang. Ditambah batasan serta alasannya. 

Kalau saya, saya bilang ke Martin, anak saya: Ya di negeri ini memang semua itu boleh. Tetapi kalau di Indonesia, itu aneh. Lalu saya lanjutkan sesuai dengan iman kristiani saya: Tuhan ciptakan perempuan dan laki-laki. Adam dan Hawa. Dst. 

Saya tidak tahu itu cara parenting yang baik atau bukan? Jika Anda punya masukan, mohon bagikan ke saya. 

Saya menduga dalam 5-10 tahun ke depan ini juga menjadi isu yang semakin lazim di Indonesia. Jadi tantangan ini akan kita semua hadapi, dimanapun kita tinggal.

Dan untuk teman-teman Kristen, saya pernah meringkas buku parenting berjudul ‘Why Christian Kids Leave Their Faith?’ Jika ingin membaca, silahkan klik disini.

1 comments

Tinggalkan komentar