Pendidikan: Rahasia Percaya Diri dan Outspoken-nya orang Belanda

Kita sudah tau bahwa orang Indonesia biasanya malu-malu dalam seminar internasional. Kadang bukan malu, tetapi tidak tau harus ngomong apa. Punya pendapat, rasanya orang lain juga sudah tau itu. Mau bertanya, tetapi takutnya itu stupid question. Ya sudah, jadi pendengar yang baik saja deh. 

Pikir-pikir lagi, sepertinya bukan hanya di acara internasional. Sehari-hari pun kita sering enggan bergaul dengan bos kita apalagi yang bule expat itu. Begitu pintu lift terbuka dan melihat ada wajah asing, kabur dulu ah. Tunggu lift berikutnya. 

Di kantor saya dulu bekerja di Jakarta, bos saya yang sudah melanglang buana itu bikin joke:

Orang Cina – No talk, work a lot

Orang Amerika – Talk a lot, work a lot

Orang Indonesia – No talk, no work

Diam-diam saya setuju joke ini. Terlalu menggeneralisasi memang. Tetapi ada benarnya.

Di Belanda, betul seperti yang kita tau, mayoritas pede dalam bicara dan bertindak. Di dunia kerja, suami saya sering cerita betapa pintarnya mereka presentasi dan menceritakan (baca: mempromosikan) apa yang sudah mereka kerjakan. Bagus / tidaknya hasil kerja, itu lain soal ya. 

Image by mohamed Hassan from Pixabay

Saya dari rumah mengamati ini juga. Teman-teman anak saya yang main ke rumah kami, usia 5-7 tahun, mereka semua tidak ada yang malu-malu saat berinteraksi dengan kami (orang dewasa). Mereka bertamu sendiri, tanpa orang tuanya. Tetapi kalau mereka ingin sesuatu, mereka langsung ngomong dengan menatap mata saya. 

Bahkan, kebiasaan disini adalah anak yang lebih dulu mendekati orang tua teman meminta izin main ke rumah temannya itu.  

Ternyata, salah satu rahasia pede nya mereka ini adalah di pendidikannya. 

Di awal tahun ajaran, dalam pertemuan guru-murid-orang tua murid untuk perkenalan, saya tidak menyangka salah satu agenda pertemuan itu adalah gurunya bertanya ke calon murid:

  1. Menurutmu, guru yang baik itu seperti apa?
  2. Kamu ingin belajar apa di kelas 1 SD ini?

Hmm.. anak umur 5 tahun dikasih pertanyaan begitu? Seperti interview kerja saja, pikir saya. Dan seiring waktu berjalan, semakin jelas gaya komunikasi mereka memang dua arah seperti ini. Tidak hanya guru memberikan instruksi dan evaluasi ke murid, murid juga melakukan yang sama ke guru. 

Di tengah tahun ajaran, anak saya yang kelas 1 SD itu mendapat 2 tugas. Pertama, mengevaluasi guru. Dia harus menjawab apa yang dia suka dan tidak suka dari gurunya, serta memberi saran perbaikan. Kedua, mengevaluasi diri sendiri. Dengan menggambar tangan, dia mengevaluasi apa kelebihannya, kekurangannya, apa mimpinya, dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai mimpinya itu. 

Jempol: apa kelebihannya. Telunjuk: nanti mau jadi apa. Jari tengah: apa yang dia tidak suka.
Jari manis: apa yang dia suka. Kelingking: ingin bisa apa.

Kebiasaan komunikasi yang terbuka ini yang membuat mereka berani mengungkapkan perasaan dan ide yang ada di kepala mereka. Dan tentunya komunikasi terbuka ini dibarengi dengan kebiasaan menghargai opini orang lain yang berbeda dengan dirinya. 

Saat ini Martin, anak saya, sudah dapat 2 jadwal untuk cerita di kelas. Satu tentang buku yang dibacanya. Satu lagi bebas tentang apa saja. Martin sudah bilang mau cerita game Nintendo favoritnya. Setelah cerita, teman-teman sekelasnya boleh bertanya atau ikut cerita topik itu. Hitung-hitung latihan presentasi.

Dalam pembelajaran jarak jauh, beberapa tugas melatih anak menyatakan emosi dan pemikirannya. Anak diminta menggambar dirinya dan barang yang sering dipakainya. Lalu tulis dialog antara anak dengan barang itu. 

Martin menggambar dia dan gadget kesayangannya.

Martin: I hate you, always no internet!

Laptop: But it’s not my fault! 

Tugas lainnya, dia diminta menulis apa yang biasa bikin dia kesal dan apa yang bisa bantu mengurangi kesalnya itu. Dan lewat tugasnya ini, sebagai ibu, saya pun baru tau jawaban 2 pertanyaan itu. Dia bilang sering kesal kalau adiknya ambil mainannya. Dan yang biasa membantu adalah kalau mama peluk dia! (^o^)

Saya kira inilah resep pede dan outspoken-nya orang Belanda. Membiasakan bicara terus terang dan tidak semua disimpan di dalam hati. Dan yang tidak kalah penting adalah membiasakan mendengar pendapat yang berbeda dengan kita. Sepasang tips yang harus selalu beriringan. 

5 comments

  1. Gilak! Sebagai guru SMP aku harus coba. 😄 Beberapakali aku pernah kasih survei yang mirip tugas ini. Tapi Hal yang aku takutin nih setelah dapat feedback, aku ga bisa menuhin ekspektasi mereka. Tapi apa anak Indonesia akan selugas ini yah? Tanpa menutupi perasaan mereka?

    Disukai oleh 1 orang

    • terima kasih mbak utk commentnya. Feedbacknya pasti ada yg langsung bisa diterapkan, ada juga yang nanti baru bisa diterapkan. Dan pasti ada juga yg gak bisa sama sekali diterapkan. Iya kebanyakan kita orang Indonesia ragu bicara jujur karena takut imbas jangka panjangnya ya. Tapi mungkin setidaknya kita melatih siswa kita untuk berani mengungkapkan perasaan/pendapatnya dengan cara yang patut dan sopan.

      Suka

  2. Setelah baca ini, aku mau nerapin caranya ke anakku mba :). Sbnrnya selama ini aku jg biasain mereka utk memutuskan sendiri keinginannya. Cth nya memilih menu makanan, kegiatan dll. Aku berharap mereka bisa LBH aktif dan punya pendapat sendiri.

    Tp cara di atas bgus . Aku mau terapin ke anakku supaya LBH bisa mengeluarkan pendapatnya, apalagi ttg org lain 🙂

    Suka

  3. Salam kenal mbak…senang sekali bisa ketemu tulisan ini. Kalau seandainya metode keterbukaan ini diterapkan di Indonesia, mungkin gak ada anak yang ngambek mau sekolah. Karena guru tau kesukaan anak, apa yang gak dia suka.

    Suka

Tinggalkan komentar